Wednesday, March 30, 2016

Superkonduktor Suhu Tinggi

Superkonduktor pertama kali ditemukan oleh fisikawan Belanda Heike Kamerlingh Onnes yang mendinginkan merkuri hingga 4 K. Pada temperatur tersebut, merkuri sama sekali mengantarkan arus tanpa ada hambatan. Logam lain dan campurannya kemudian diketahui dapat bersifat superkonduktif pada suhu dibawah 23 K. Penemuan superkonduktor mempengaruhi perkembangan teknologi seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI), akselerator partikel dan sensor geologi.
Beberapa abad setelah penemuan Onnes, yaitu sekitar tahun 1980, K. Alexander Muller dan J. Georg Bednorz dari Lab IBM menemukan substansi keramik oksida lanthanum barium tembaga yang dapat bersifat superkonduktif pada suhu 35 K. Penemuan yang lebih dramatis lagi terjadi pada awal tahun 1987 dimana Maw-Kuen Wu dan Paul C.W Chu berhasil mendemonstrasikan superkonduktifitas pada suhu 93 K pada oksida yttrium barium tembaga (yttrium barium copper oxide-YBCO). Pada suhu tersebut, YBCO bersifat superkonduktif ketika dicelupkan ke nitrogen cair yang lebih murah daripada helium cair. Penemuan tersebut memicu penemuan oksida tembaga lain sebagai superkonduktor dengan suhu kritis yang semakin meningkat. Superkonduktor secara eksperimental sudah jauh meninggalkan superkonduktor secara teori.
Bagan 1 Jalan Konduksi Elektron Pada YBCO. Jalan ini seperti jalan bebas hambatan.

Tantangan yang harus dihadapi
Meskipun penemuan superkonduktor semakin menjanjikan masa depan yang lebih baik, tetapi pada kenyataannya eksperimen tidak semudah yang dibayangkan. Para ilmuwan menghadapi berbagai masalah terkait pencarian material superkonduktor bersuhu tinggi dan relatif stabil terhadapa perubahan lingkungan. Beberapa masalah tersebut misalnya :
1.      Kemampuan konduksi oksida tembaga terbatas
Keterbatasan ini terjadi akibat tidak sempurnanya lapisan pembentuk oksida tersebut. Lapisan oksida cenderung saling tumpang tindih sehingga elektron semakin berpotensi menumbuk lapisan tumpang tindih tersebut. Akibatnya, elektron bergerak lebih lambat dan panas akan terjadi.
2.      Pengaruh medan magnet
Medan magnet selanjutnya juga diketahui memberi pengaruh besar pada sifat superkonduktor. Medan magnet ternyata dapat memberikan penetrasi secara signifikan pada lapisan tumpang tindih sehingga memperburuk aliran arus. Fakta lain juga menunjukkan bahwa lapisan material yang sempurna sekalipun (tidak ada tumpang tindih lapisan) dapat mengalami penetrasi oleh medan magnet yang sangat besar.
Untuk mengatasi masalah di atas, ilmuwan menemukan salah satu jalan keluar yaitu meletakkan lapisan mikro tipis pada material dengan susunan yang sangat rapi bersama substansi tertentu. Lapisan mikro tipis tersebut sangat baik meluruskan susunan lapisan yang selama ini kurang memuaskan. Kelemahan dari lapisan tipis ini adalah kemampuan mengantar arus sangat kecil. Meskipun demikian, teknik lapisan tipis sudah mulai diproduksi untuk tujuan komersil, militer, dan penelitian. Teknologi yang menggunakan lapisan tipis misalnya SQUID (Superconducting Quantum Interference Devices). Alat ini bekerja dengan baik pada temperatur 77 K, jauh lebih baik dibandingkan SQUID tanpa lapisan tipis yang bekerja di titik 4,2 K.
Selain metode lapisan tipis, para peneliti terus meningkatkan kemampuan penyusunan yang sangat teliti dan sempurna di tingkat lapisan tembaga oksida untuk meningkatkan kemampuan mengantar arus jauh lebih baik. Mereka juga melakukan investigasi struktural untuk menemukan dan memodifikasi bagian-bagian tertentu dari struktur yang terpengaruh oleh gangguan medan magnetik.
Modifikasi tersebut menghasilkan YBCO yang lebih baik. Kapasitas arus maksimum yang dapat dihantarkan oleh YBCO menjadi 1 juta ampere per cm2 pada 77 K hanya turun menuju 400.000 ampere ketika medan magnet 9 tesla diberikan. Hasil ini jauh lebih baik dari YBCO sebelumnya yang hanya mampu mengantarkan 10 ampere saja untuk 0,01 tesla.
Selain masalah-masalah di atas, tembaga oksida merupakan keramik yang tentu saja sulit untuk dibentuk menjadi kabel listrik. Melalui serangkaian teknik, para peneliti membuat keramik tersebut berupa serbuk dan kemudian dibungkus dengan tabung perak yang dipilin dan ditegangkan menjadi kabel. Teknik pemanggangan dapat mengubah keramik menjadi serbuk oksida tembaga bismuth. Bahan tersebut dapat menghantarkan arus 200.000 ampere per cm2 pada 4,2 K (sekitar 200 kali kemampuan tembaga biasa) dan 35.000 ampere pada 77 K. Dengan menggunakan tembakan ionik, fisikawan di Los Alamos National Lab mampu memproduksi pita YBCO fleksibel yang lebih baik terhadap gangguan medan magnetik daripada kabel bismuth.
Superkonduktor juga sangat berperan dalam teknologi magnetik. Intermagnetics General and Texas Center for Superconductivity mampu menciptakan magnet superkonduktor yang terdiri dari berbagai oksida tembaga. Magnet tersebut memiliki kekuatan diatas 2 T, sekitar 5 kali medan magnet yang mampu dihasilkan oleh magnet permanen sekalipun. Kabel superkonduktor dapat digunakan untuk memproduksi motor bertenaga 5 HP.

Rahasia dibalik superkonduktor
Susunan material yang kompleks membuat mekanisme penelitian superkonduktor menghadapi tantangan yang tidak mudah. Teori tradisional superkonduktor menyatakan bahwa superkonduktor terjadi karena vibrasi pada zat padat menyebabkan elektron-elektron berpasangan. Teori yang dikenal sebagai teori BCS ini menyatakan bahwa pada suhu yang sangat rendah, elektron akan berinteraksi dengan kisi kristal molekul (lattice) dan mengganggunya. Gangguan ini kemudian menyebabkan interaksi ke elektron lainnya sehingga kedua elektron ini bergabung menjadi pasangan elektron. Interaksi ini mampu mengatasi sifat tolak-menolak (Hukum Coloumb) yang selama ini dikenal. Pasangan elektron ini secara kolektif dapat menyerap medan listrik yang diberikan padanya pada suhu kritis sehingga dapat menimbulkan aliran arus superkonduktor. Hal ini tidak akan terjadi untuk elektron individual.
Konsep ini tidak cukup untuk menerangkan superkonduktor berbahan oksida tembaga. Tingginya temperatur transisi pada oksida tembaga menghasilkan vibrasi yang relatif besar sehingga elektron tidak cukup stabil membentuk pasangan. Suatu substansi lain mungkin menjadi pasangan elektron meskipun kita belum mengetahuinya.
Pada tahun 2008, varian lain dari superkonduktor suhu tinggi ditemukan. Selain superkonduktor berbasis oksida tembaga, ada juga superkonduktor berbasis oksida besi. Penemuan ini memberikan sedikit angin segar terhadap pencarian teori superkonduktor suhu tinggi. Beberapa ilmuwan meyakini hal ini berhubungan erat dengan fluktuasi kuantum elektron pada oksida besi. Fluktuasi ini juga memiliki titik kritis yang ditandai perubahan sifat bahan salah satunya superkonduktifitas. Fluktuasi kuantum dapat dianalogikan seperti fluktuasi termal yang terjadi ketika es berubah menjadi air pada suhu tertentu. Meskipun demikian, teori fluktuasi kuantum ini juga tidak sepernuhnya dapat diterapkan pada oksida tembaga karena adanya beberapa perbedaan sturuktur superkonduktor berbasis besi dan tembaga.
Seiring berjalannya waktu, suhu kritis superkonduktor terus mengalami peningkatan. Bersamaan dengan itu juga, teori superkonduktor terus dibangun mendampingi hasil eksperimen. Langkah sporadis saat ini mengindikasikan superkonduktor sudah bisa mencapai 250 K meskipun belum sepenuhnya terealisasi. Secara teori, tidak tertutup kemungkinan untuk mendapatkan superkonduktor pada suhu kamar.
SQUIDs (Superconducting Quantum Interference Devices) adalah sensor/detektor medan magnet (magnetometer) yang sangat sensitif. Alat ini digunakan untuk mengukur medan magnet yang sangat lemah berdasarkan loop superkonduktor yang menggunakan Josephson Junctions. Alat ini bekerja seperti cairan nitrogen pada temperature 77 Kelvin seperti kerja SQUIDs konvensional yang bekerja pada suhu 4,2 Kelvin. Alat ini masih sebagai model untuk tujuan pendidikan dan penelitian. SQUIDs sangat sensitif untuk mengukur medan magnet di bawah 5aT (5×10−18 T) pada beberapa hari pada rata – rata pengukuran. Level noise dari peralatan ini di bawah 3 fHz. Untuk perbandingan, refrigerator magnet memperoduksi 0.01 tesla (10−2 T), dan pada beberapa proses metabolisme pada hewan memproduksi medan magnet yang sangat kecil di antara 10−9 T and 10−6 T.
Ada dua tipe SQUID, yaitu DC (direct current) dan RF (radio frequency) SQUID.  Pada DC SQUID, terdapat dua Josephson Junction paralel pada loop superkonduktor berdasarkan DC Efek Josephson (Efek Josephson adalah kemampuan dua superkonduktor yang digabungkan untuk menopang tegangan 0V pada superarus yang terasosiasi dengan pasangan Cooper yang memiliki besar tergantung dengan perbedaan fase antara 2 superkonduktor). Ketika sejumlah kecil flux eksternal diaplikasikan pada superconducting lopp dan pada skrining arus menghasilkan medan magnet untuk menghilangkan flux eksternal. Arus pada salah satu cabang di superconducting lopp pada arah I sama dengan I/2 + Is/2 dan pada cabang kedua di mana berada pada aah yang berlawanan dari I sebanding dengan I /2− Is/2. Seketika arus pada salah saru cabang melebihi arus kritis untuk Josephson Junction, superconducting ring menjadi resistif dan tegangan muncul melintang pada Junction. Ketika flux eksternal bertambah dan melebihi Φ0/2, flux akan tertutup oleh superconducting loop harus merupakan integral dai jumlah kuanta flux. Pada kasus ini, SQUID akan menambahkan flux menjadi Φ0. Skrining arus sekarang mengalir pada arah yang berlawanan. Dengan demikian, skrining arus berubah arah setiap penambahan flux dalam jumlah setengah multiple integer dari Φ0, Arus kritis akan berosilasi sebagai fungsi flux. Jika arus input lebih besar dari I, maka SQUID selalu beroperasi pada mode resistif. Tegangan akan menjadi fungsi dari medan magnet dan periodenya sama dengan Φ0 . Sejak karakteristik arus-tegangan dari DC SQUID mengalami hysteresis, tahanan shunt dihubung melintang pada Junction untuk menghilangkan hysteresis (pada kasus tembaga oksida berdasarkan superkonduktor temperature tinggi resistansi diri Junction biasanya cukup). Skrining arus adalah flux dibagi dengan induktansi diri dari ring. Dengan demikian, ∆Φ bisa diestimasi sebagai fungsi ∆V (flux ke converter tegangan). 
V = RI
  2I = 2 ∆Φ/L, di mana L adalah induktansi diri dari superconducting ring.
RF SQUID diciptakan pada tahun 1965 dan hal ini berdasarkan konsep AC Efek Josehson dan menggunakan hanya satu Josephson Junction. Alat ini kurang sensitive disbandingkan dengan DC SQUID, namun lebih murah dan mudah diproduksi pada jumlah yang lebih kecil. RF SQUID secara induktif digabungkan dengan saluran tangki resonasni. Tergantung dari medan magnet eksternal, SQUID menjadi resistif., induktansi dari saluran tangki berubah, dan merubah frekuensi resonansinya. Pengukuran frekuensi ini dapat dengan mudah dilakukan dan kehilangannya muncul sebagai tegangan melintang pada resistor beban pada sirkuit sebagai fungsi preiodik dari penggunaan flux magnetic dengan periode Φ0.
Aplikasi dari SQUID adalah magnetometer, untuk penelitian spectrum (yang menggunakan sinyal tegangan rendah pikovolt dan frekuensi rendah NMR dan NQR), kesehatan (magnetocardiogram – MCG, untuk otak magnetoencephalogram – MEG, Magnetic Resonance Imaging – MRI), geofisika, biomagnetism, nondestructive testing (NDT), gradiometry untuk navigasi pada kapal selam, melokalisasi bangkai kapal yang terkubur di dasar sedimen lautan, dan komunikasi dengan frekuensi sangat rendah di bawah laut.
Flywheel energy storage (FES) bekerja dengan mempercepat rotor (flywheel) pada kecepatan sangat tinggi dan mempertahankan energy di dalam system tersebut sebagai energy rotasi. Ketika energy diekstrasi dari system, kecepatan rotasi flywheel akan berkurang sebagai konsekuensi dari prinsip konservasi energy. Menambahkan energi ke system menyebabkan penambahan kecepatan pada flywheel . Pada umumnya, system FES menggunakan listrik untuk mempercepat dan memperlambat flywheel , namun alat ini sedang dikembangkan untuk secara langsung menggunakan energy mekanik, Komponen utama dari system FES ini adalah rotor dengan suspense berupa bantalan suatu materi di dalam ruang vakum dan dihubungkan dengan kombinasi motor elektrik/generator listrik. Bantalan tersebut ada dua macam, yaitu bantalan HTSC (dengan hanya menggunakan superkonduktor temperature tinggi) dan bantalan hybrid (menggunakan magnet permanen untuk mendukung beban dan superkonduktor bertemperatur tinggi dalam hal penstabilan). Superkonduktor dapat berkerja baik dalam penstabilan beban adalah karena benda tersebut merupakan diagmanetik sempurna. Ketika rotor mencoba untuk terbias ke pusat, gaya balik karena penjepitan flux mengembalikan ke semula. Hal ini dikethaui sebagai kekakuan dari bantalan magnetic. Sumbu rotasi vibrasi dapat terjadi akibat kekakuan dan kecil, di mana masalah inherent dari magnet superkonduktor, mencegah penggunaan secara keseluruhan dari bantalan magnetic superkonduktor untuk penggunaan flywheel. Sejak penjepitan flux adalah faktor penting dalam pemenuhan penstabilan dan kenaikan gaya, HTSC lebih mudah digunakan untuk FES dibanding untuk penggunaan lainnya. Serbuk HTSC dapat dibentuk menjadi bentuk apapun sepanjang penjepitan flux kuat. Dibandingkan dengan cara lain dalam penyimpanan listrik, system FES mempunyai waktu hidup yang lama (105 sampai dengan 107, putaran dalam penggunaan), kerapatan energy tinggi ((100-130 W·h/kg, atau 360-500 kJ/kg), daya output maksimum, dan efisiensi energy dari flywheel dapat mencapai di atas 90% (97% efisiensi energy mekanik pada ruang vakum tinggi). Kapasitas penyimpanan dari 3 kWh sampai 133 kWh, kecepatan pengisian system kurang dari 15 menit. Kelebihan system FES adalah mempunyai rotor yang terbuat dari filament karbon yang memiliki ketahanan tinggi dan bermassa rendah, dengan suspensi berupa bantalan magnetic untuk mengurangi gesekan, dan dapat berputar dengan kecepatan 20.000 –  di atas 50.000 rpm, tidak berdampak buruk pada lingkungan. Aplikasi FES di antaranya adalah untuk gyrobuses (pengganti baterai kimia pada mobile , di mana kapasitasnya lebih besar, waktu pengisian yang lebih cepat, lebih ringan, dan jangka waktu penggunaan yang lebih lama), turbin gas untuk automotif hybrid powertrain dengan menggunakan 55.000 rpm flywheel berupa titanium yang dihubungkan dengan serat karbon silinder untuk meminimalisasi gyroscopic (momentum angular sama dengan besar gaya pada pergerakan kendaraan)  yang merugikan dalam handling kendaraan, namun masih dalam bentuk prototype), kompulsator, lokomotif listrik kecil dan besar, railcar, KERS (Kinetic Energy Recovery System) sebagai bagian dari mesin Formula One 2009, CVT (continuously variable transmission) pada tahun 2011, sisi rel yang diberi listrik, dan sumber tenaga listrik di Amerika (Electrical Power Frequency Plant).

SMES (Superconducting Magnetic Energi Stores) adalah sebuah sistem penyimpanan energi pada medan magnet yang dicipakan dengan arus DC pada superconducting coil di mana telah didinginkan di bawah suhu kritis dari superconducting coil itu sendiri (4,2 K). Sistem SMES terdiri dari tiga bagian : superconducting coil (toroidal/solenoidal), power conditioning system and cryogenically cooled refrigerator. Ketika superconducting coil diisi energinya/dicharge dan melingkar, arus tidak akan hilang dan energi magnetic akan disimpan tanpa batas tertentu. Energi magnetic didapatkan sesuai rumus E = ½ L I2 atau bila coil dalam dimensi berbeda, maka energi magnetic menjadi E = ½ RN2I2 f(ξ,δ). Ketika listrik dibutuhkan, coil akan disalurkan kembali ke jaringan utama yang dibutuhkan untuk memberi dorongan tenaga listrik. Hal ini dilakukan dengan cara discharging coil. Bagian Power Conditioning System menggunakan inverter/penyearah untuk mengubah arus AC menjadi arus DC atau sebaliknya. Inverter/penyearah akan menghilangkan energi sekitar 2 – 3 % pada setiap arah. SMES menghilangkan sedikit listrik pada proses penyimpanan energi dibanding dengan cara lain penyimpanan energi lainnya karena bagian dari sistem ini diam. Sistem SMES memiliki efisiensi tinggi sampai dengan 95%. Selain itu, kelebihannya adalah rentang waktu delay antara charge dan discharge singkat, maka daya akan secara instan dapat digunakan dan daya output yang sangat besar akan dihasilkan. Prototype dari SMES telah diuji coba, seperti kecanggihan flywheel, bantalan HTSC akan mengurangi gesekan dan dapat membuat SMES terus berputar secara kontinu sampai mendapatkan energinya. Karena SMES membutuhkan energi yang besar untuk pendinginan dan biaya tinggi untuk superconducting wire, SMES sekarang hanya digunakan untuk durasi penyimpanan yang singkat. Maka dari itu, SMES umumnya ditujukan untuk meningkatkan kualitas daya listrik. SMES berukuran kecil digunakan untuk komersial (garis transmisi dari SMES unit yang terdistribusi meningkatkan stabilitas dari loop transmisi) dan beberapa SMES besar (kapasitas penympanan mendekat 20 MWh dan menyediakan 400 MW pada 100 detik atau 10 MW setiap 2 jam)  masih dalam uji coba. Sekitar 1 MWh unit telah digunakan untuk daya control kualitas pada instalasi, khususnya untuk menyediakan kualitas daya untuk industri yang membutuhkan daya yang ultra-bersih, seperti pembuatan microchip. 


Sumber : http://dokumen.tips/documents/superkonduktor-suhu-tinggi.html